Cerpen Ukiran Pensil
Assalamualaikum...
Hai teman, selamat datang di blog pertama ku. untuk blog pertama ini aku akan mempersembahkan sebuah cerpen karya ku sendiri. Sebelumnya cerpen ini adalah tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas. Tapi aku berpikir untuk mempostingkannya di blog juga.
I hope you enjoy the following story. HAPPY READING ☺
UKIRAN PENSIL
karya : Fabila Salsabila
Jam di dinding rumah menunjukkan pukul 07.15 pagi. Sial! Aku sudah terlambat ke sekolah. Apalagi hari ini pertama aku masuk ke sekolah baru.
Aku bergegas keluar kamar setelah siap dengan baju putih dan rok abu-abu, menikmati hidangan sarapan yang sudah disiapkan bunda di atas meja makan, lalu berangkat bersama ayah dengan mobil pribadi.
Benar dugaanku. Sesampainya di sekolah gerbang sudah ditutup. Aku berusaha membujuk satpam membukakan gerbang dengan alasan “saya siswi baru disini, Pak. Hari ini adalah hari pertama saya sekolah di sini.” Dengan baik hati satpam sekolah memperbolehkan aku masuk. Setelah menemui kepala sekolah, akhirnya aku diantarkan ke kelas XI IPA 2 yang akan menjadi tempat belajarku di sekolah ini, memperkenalkan diri di depan kelas, lalu mendapatkan bangku di samping seorang siswa yang ku tahu namanya Daryl. Aku mengetahuinya saat pria itu meletakkan bukunya di atas meja. Namanya tertulis di sampul buku polos yang terbalut rapi.
“Salam kenal, aku Alifia” ucapku sambil mengulurkan jabatan tangan. Sayangnya Daryl tidak membalas jabatan tanganku. Hanya melirikku sekilas lalu kembali sibuk mengeluarkan alat tulisnya dari dalam tas. Dari situ aku mulai yakin bahwa teman duduk ku saat ini adalah orang yang irit bicara.
* * *
Waktu terus berjalan dan tidak terasa aku sudah bersekolah disini selama 2 bulan. Suasana baru, teman baru, guru baru. Aku dengan cepat beradaptasi dengan lingkungan sekolah ini.
Terutama tentang teman sebangku ku, Daryl. Dari cerita yang dikatakan teman-temanku, aku mengetahui bahwa Daryl mempunyai darah Indonesia-Belanda, sudah seperti membahas sejarah kemerdekaan Indonesia saja. Pantas saja warna kulitnya putih pucat begitu. Daryl lebih tinggi 10 cm dari tinggiku, dia adalah siswa paling pintar di kelas walau irit bicara. 2 bulan aku menjadi teman sebangkunya, ternyata Daryl adalah seorang teman yang perhatian. Contohnya saat melihatku kesulitan dalam mengerjakan tugas, Daryl berbaik hati membantuku memahami tugas tersebut. Pernah juga di saat aku tidak sengaja tertidur di jam pelajaran, dia akan mengetuk-ngetuk pensil ke kepala ku hingga aku terbangun dan kembali menyimak pembelajaran dari guru yang berada di depan kelas.
Suatu hari aku sedang duduk dengannya di bangku panjang taman belakang sekolah di jam istirahat. Di saat itulah untuk pertama kalinya Daryl bercerita denganku, bercerita tentang kehidupannya. Cerita itu berawal karena pertanyaanku padanya,
“apa kamu memang terlahir irit bicara atau ada sesuatu yang membuatmu menjadi seperti ini?” tanyaku sambil menawarkan sebuah es krim yang baru saja ku beli di kantin.
Daryl hanya melirik ku sekilas seperti biasa, tidak merespon pertanyaan ku, bahkan tidak mengambil es krim yang kutawarkan. Ia malah sibuk berkutik dengan buku matematika dan pensilnya.
Aku merasa cukup jenuh dengan kebiasaannya ini. Dengan kesal aku merebut paksa pensil dari tangannya, menutup kasar buku tugasnya, dan dengan cepat meletakkan es krim di tangan kanannya.
“Ini jam istirahat, berhenti buat tugas dan istirahatkan otakmu sejenak! Lagian masih ada waktu seminggu lagi untuk mengumpulkan” tuturku panjang lebar.
Daryl menatap ku datar dan malah bertanya balik, “kalau bisa selesai lebih awal apa salahnya?”
“Di rumah kamu punya banyak waktu menyelesaikan tugas” balasku tidak ingin kalah dari pemikirannya.
“siapa kamu berani mengaturku?” Tanya Daryl dengan ekspresi datar. Pertanyaan itu membuatku terdiam. Benar juga, siapa aku yang harus mengatur hidupnya. Ya sudah biarkan saja Daryl menyelesaikan tugasnya.
“oke, aku kalah! Lanjutkan tugasmu dan jangan lupa makan es krimnya!”
Daryl tersenyum menanggapi. Ini pertama kalinya aku melihat senyum terukir di wajah pria keturunan Netherland ini. Kemana saja senyuman itu selama ini? Semahal itukah senyuman seorang Daryl?
Aku dengan sabar menunggu Daryl menyelesaikan tugasnya. Sambil menikmati es krim vanila yang ada di tanganku. Tidak lama pria itu menyelesaikan tugasnya, lalu melahap es krim yang kuberikan tadi hingga tuntas.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku” ujarku setelah Daryl selesai memakan es krimnya.
Yang ditanya malah melirik ku dan mengangkat sebelah alisnya seolah-seolah bertanya “pertanyaan yang mana?”
“Apa kamu memang terlahir irit bicara atau ada sesuatu yang membuatmu menjadi seperti ini?” aku mengulang pertanyaan yang sama.
“Aku Daryl yang ceria sebelum aku menginjakkan kaki di sekolah dasar. Enam tahun aku hidup di dunia aku adalah Daryl yang periang. Saat aku berusia 7 tahun, aku mulai mengenal sekolah, menuntut ilmu. Ada satu hal yang aku tidak mengerti, kenapa tidak ada satupun murid yang menyukai keberadaanku? Aku selalu dijauhkan, dikucilkan, bahkan dibully. Sebelas tahun aku mengenal sekolah, hanya pengucilan dan pembullyan yang ku dapat dari siswa/siswi. Itu lah alasan aku menjadi Daryl yang sekarang ini. Tidak ada yang menyenangkan. Selama hidup aku tidak pernah tahu arti sebuah pertemanan karena tidak ada yang mau mejadi temanku.” Sepanjang bercerita mata Daryl hanya lurus menatap rerumputan yang di potong pendek dengan rapi di depan kami.
“Aku? Aku mau menjadi temanmu. Dari pertama aku sekolah disini kamu adalah temanku. Teman-teman di kelas semuanya temanmu.”
“Mereka hanya memanfaatkan ku” bantah pria yang sedang duduk di samping ku, sambil menatapku datar seperti biasa.
“Baik. Aku yang akan terus menjadi teman yang menerimamu apa adanya, bukan ada apanya.” Semoga perkataanku bisa meyakininya bahwa di dunia semua orang butuh teman.
Daryl kembali menatap rerumputan di bawah kakinya, tersenyum miring dalam artian ‘hidup ini sangat miris. Tidak adil baginya’
“eh, tapi… rasanya aku tidak pernah melihat mu dibully.” Aku kembali bertanya. Maaf aku terlalu penasaran dengan sosok Daryl.
“karena mereka tidak pernah berani macam-macam jika ada orang di sekitarku.” Jawab Daryl sambil menatapku.
* * *
Selama bersekolah disini aku tidak pernah melihat Daryl ke kantin. Hari ini aku akan mencoba mengajaknya ke kantin bersama.
“Ryl, mau ke kantin?” tanya ku setelah bel istirahat berbunyi dan guru telah meninggalkan kelas.
“Aku tidak suka keramaian” pernyataan itu membuatku menghela nafas lelah. Jika aku memaksa sudah pasti akan dibantah seperti biasa.
“ya sudah, aku ke kantin. Bye!...” aku berjalan ke arah pintu kelas meninggalkan Daryl di kelas sendiri. Itu juga karena kemauannya. Huft…
Baru beberapa langkah menjauhi pintu kelas, niat ke kantin beralih karena aku baru saja melihat tiga siswa yang berjalan tegas ke arah kelasku. Daryl sedang sendiri, jangan-jangan… ah, terlalu banyak berpikir lebih baik aku lihat sendiri mereka akan melakukan apa.
“Aku mendapatkan tiga tugas hari ini. Kerjakan !” suara berat itu berasal dari salah satu dari mereka bertiga yang sudah berada di kelas ku. D-dia memerintahkan Daryl seenaknya? Tidak bisa dibiarkan!
Dari yang ku lihat, Daryl menerima tiga buku tugas dari siswa sombong itu dengan ekspresi datar. Bukan datar lagi, tapi dingin.
“Apa tujuan kalian sekolah sebenarnya?” tanyaku. Memberanikan diri masuk ke kelas yang sekarang berada tiga orang siswa dari kelas yang berbeda. “Orang tua kalian membiayai sekolah semahal itu untuk anaknya belajar dengan benar, mengerjakan tugas sesuai pemahamannya. Tapi kalian, kalian malah memanfaatkan kepintaran seseorang untuk menyelesaikan tugas yang padahal diberikan untuk kalian. Mau jadi apa jika tidak pernah paham dengan pelajaran di sekolah?”
Anehnya pria yang tadinya memaksa Daryl mengerjakan tugasnya sekarang malah merebut kembali semua buku itu dan mengajak teman-temannya keluar.
“hei, semudah itukah dia pergi?” tanyaku bingung sambil menatap pintu kelas yang baru saja ditingalkan ketiga siswa tidak jelas itu.
“Sepertinya kamu lupa apa yang kukatakan padamu kemarin” jawab Daryl sambil membereskan buku-bukunya ke dalam tas.
Oh ya, aku ingat. Daryl berkata bahwa orang yang membullynya tidak akan mau mengganggunya ketika ia bersama orang lain.
“Tapi kenapa kamu tidak melawannya, Daryl?” tanyaku heran.
“Aku sudah lelah membantahnya. Aku tidak menyukai keributan. Cukup menuruti apa yang dia mau dan secepatnya menyelesaikan urusan itu agar aku tidak melihat wajahnya lagi” jawab Daryl yang sekarang mulai berdiri. Mungkin dia akan keluar kelas.
“Aku akan melaporkannya ke pihak sekolah” dengan tergesa-gesa aku membalikkan tubuh, tapi Daryl malah menahan lengan mungilku.
“Percuma. Dia anak dari seorang donatur sekolah ini. Sudah pernah kelakuannya dilaporkan ke pihak sekolah tapi mereka hanya menghukumnya berkeliling lapangan atau membersihkan toilet. Dia tidak akan pernah kapok dengan hukuman sekolah. Pihak sekolah tidak ada yang berani mengeluarkannya dari sekolah. Resikonya akan jatuh pada pembiayaan pembangunan dan program sekolah ini.” Daryl menjelaskan panjang lebar dan melepaskan tanganku dari genggamannya.
Ooh jadi begitu. Pantas saja kenapa mereka masih berada dengan tenang di sekolah ini. “Eh, kamu mau kemana?”
“kantin. Ayo!” Daryl menjawab sambil tersenyum manis dan dengan santai keluar dari kelas.
“Hei, tunggu!” teriakku mengejar langkahnya. Aku senang bisa melihat Daryl tersenyum padaku. Semoga saja aku bisa menjadi teman terbaiknya.
* * *
Tekadku menjadi teman terbaik dan penyemangatnya benar-benar ku laksanakan. Setiap pertandingan basket aku akan menyemangatinya dari luar area lapangan, aku tidak mau meninggalkannya sendiri di kelas, setiap ke kantin kami akan pergi bersama. Aku dan Daryl bisa disebut… sepasang sahabat.
Hari minggu aku mengajaknya bersepeda di sekitar taman kota. Aku lihat Daryl mulai kembali menjadi sosok yang ceria dan menyenangkan. Dia terus tersenyum menyapa orang-orang di sekitarnya, merespon lelucon ku dengan tawa tulusnya. 20 menit berkeliling taman, kami beristirahat di bangku taman di bawah pohon yang rindang dan menyejukkan.
Daryl sibuk dengan gadget di tangannya. Aku yang bosan dengan gadget memutuskan untuk membeli es krim cup. Satu es krim cup rasa vanila untukku dan rasa coklat untuk Daryl. Sialnya saat berjalan mendekati Daryl yang masih setia dengan gadget nya, seorang bocah SD yang sedang mengayuh sepedanya tidak sengaja menyenggol tanganku. Alhasil es krim di tangan ku tumpah dan mengotori baju yang saat ini ku kenakan.
“Huft, dasar bocah! Setidaknya dia mengatakan maaf saja akan aku maafkan.” Aku mengomel sambil berjalan ke arah bangku taman dengan wajah masam.
“haha, kenapa? Kesal kok sama anak kecil?” Daryl bukannya membantu malah mengejekku. Aku menghela nafas kasar karena ejekan darinya. Daryl tiba-tiba beranjak berdiri.
“mau kemana?” tanyaku yang baru saja mengambil duduk di sampingnya sambil mengibas-ngibas tanganku di bagian baju yang terkena es krim.
“Tunggu disini! Aku akan beli tisu di toko seberang jalan sana” jawabnya serta menunjuk toko yang ia maksud. Dan aku mengangguk mematuhi.
Sembari menunggu Daryl, aku masih berusaha membersihkan baju ku. Hingga tiba-tiba aku mendengar seseorang berteriak dan seketika jalan menjadi ramai. Rasa penasaranku tumbuh. Dengan langkah tergesa-gesa aku mendekati kerumunan orang di jalan.
“Boleh tanya ada apa ya, Mbak?” tanyaku sopan pada seorang wanita paruh baya yang baru saja memisahkan diri dari kerumunan itu.
“Seorang remaja berkulit putih pucat baru saja menjadi korban tabrak lari” jawab wanita itu dengan ekspresi cukup panik. Sebentar! Apa? Pu-putih pucat? Tidak, tidak! Aku harus memastikan dulu.
“Permisi… boleh beri jalan sebentar?” dengan baik hati mereka memberiku celah untuk mendekati korban tabrak lari itu.
Daryl? Benar dugaanku, dia Daryl! Aku mendekati pria yang sudah berlumuran darah dari kepala sebalah kanannya. Air mata ku seolah seperti hujan yang tidak diperintahkan untuk turun deras. Tuhan, selamatkan Daryl…
* * *
Daryl segera dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk diperiksa, aku menghubungi pihak sekolah untuk memberi tahu orang tuanya karena secara selama berteman aku tidak pernah tahu siapa orang tua Daryl. Salah satu warga yang ikut mengantarkan Daryl ke rumah sakit sempat menghubungi polisi untuk menindaklanjuti kasus tabrak lari ini.
Aku mendengar pembicaraan polisi dengan orang tua Daryl saat di koridor rumah sakit bahwa pelaku tabrak lari diduga sedang dalam keadaan mabuk dan mengendarai mobil tanpa kendali.
Aku juga sempat berkenalan dengan orang tua Daryl saat mereka tiba di rumah sakit tadi. Benar saja wajah Daryl benar-benar campuran dari wajah mama dan papa nya. Kedua orang tua itu bercerita singkat padaku bahwa Daryl pernah menderita penyakit Toksoplasmosis, yaitu infeksi otak karena lemahnya daya tahan tubuh.
Daryl dinyatakan dalam keadaan koma. Penyakit Toksoplasmosis yang dideritanya berpengaruh pada keadaannya sekarang. Itu karena saat tabrak lari, kepala bagian kanannya berbenturan keras dengan ujung trotoar.
Hatiku tidak tenang. Sungguh. Ini pertama kalinya aku benar-benar khawatir pada seorang teman. Daryl adalah teman yang baik, perhatian, dan menyenangkan. Dia selalu sabar menjelaskan pelajaran yang tidak aku mengerti, membantuku saat kesulitan mengerjakan tugas, membangunkanku ketika tidur di jam pembelajaran berlangsung. Aku tidak pernah mendapat teman seperti seorang Daryl.
Selama Daryl dirawat di rumah sakit, aku selalu menyempatkan diri berkunjung ke ruang inapnya sepulang dari sekolah. Terkadang aku meminta izin bunda dan ayah untuk menginap menemani Daryl di rumah sakit ketika malam minggu. Walau Daryl tidak pernah bangun dan menyadari keberadaanku. Aku terus mengajaknya bicara walau dia masih menutup mata. Ku harap Daryl mendengar semua ceritaku.
“Ryl, hari ini pembagian raport semester dua. Tau gak? Aku dapat nilai A untuk mapel matematika. Lihat!” aku membuka raport sekolah yang cukup tebal ini dan memperlihatkan deretan nilai-nilai ku padanya. Tetap saja Daryl tidak mau membukakan mata untuk melihat senyuman ku. Beberapa menit kemudian senyum sumringah ku kembali pudar. Kapan Daryl akan bangun dari tidur panjangnya?
Tiiiiiiiiiiiiit…………
Layar monitor pendeteksi jantung yang ada di samping kasur tempat Daryl tidur tiba-tiba mengeluarkan suara yang nyaring. Aku dengan panik memencet tombol darurat yang berada tepat di atas kepala kasur pasien.
Dokter langusng datang bersama para perawat dan menyuruhku untuk menunggu di luar ruangan. Saat berada di luar ruangan aku segera menghubungi orang tua Daryl dan Orang tua ku. Beberapa menit akhirnya mereka tiba di rumah sakit ini. Kami dikelilingi rasa panik dan takut.
Ya Tuhan, ku mohon selamatkan Daryl. Ia baru saja mendapatkan kebahagiaan lagi dalam hidupnya beberapa minggu terakhir. Selesaikan ujian ini untuknya, Tuhan. Aku menyayangi Daryl, dia sudah seperti saudara ku sendiri. Beri dia kekuatan untuk melewati semua cobaan ini. Aku mohon.
Aku terus berdoa mengadahkan kedua telapak tanganku, memejamkan mata, disertai derasnya air mata yang tak bisa aku tahan lagi. Bunda yang duduk di sampingku memelukku dengan erat. Ikut terisak seakan beliau merasakan apa yang sedang aku rasakan saat ini.
Pintu ruangan tempat Daryl diperiksa terbuka.
“Bisa bicara dengan orang tua pasien?” tanya sang dokter muda yang menangani Daryl sebelumnya.
Orang tua Daryl pun masuk ke ruangan dan berbincang dengan dokter. Daryl sudah siuman dari komanya. Itu kabar yang sangat baik. Terlanjur senang, setelah orang tua Daryl keluar dari ruangannya setelah menemui putra sematawayangnya itu aku dengan antusias tinggi segera menerobos masuk ruangan dan menemui Daryl bersama senyuman senangku. Walau dalam keadaan lemah, Daryl masih mampu membalas senyumanku.
“hei, bagaimana keadaanmu?” sapa ku berbasa basi. Mengambil duduk yang ada di samping kasur pasien. Daryl hanya menjawab dengan senyuman. Tak lama kemudian mama Daryl memasuki ruangan ini dan memberikan sesuatu berbungkus kotak biru kepada anaknya.
“Terima kasih, Ma!” ucap pria yangsekarang semakin tampak pucat karena kondisi lemahnya. Wanita paruh baya yang berstatus mama Daryl mengangguk sambil tersenyum manis.
Daryl memberikan kotak sebesar buku itu padaku. Aku menerimanya dengan pemikiran bingung. Atas dasar apa ia memberikannya padaku?
“s-selamat u-ulang tahun, Alifia” ucap Daryl dengan susah payah mengeluarkan kalimat singkat yang penuh makna itu.
Astaga bahkan aku sendiri tidak ingat hari ini ulang tahun ku. Air mataku kembali menetes untuk yang kesekian kalinya. “te-terima kasih” aku segera memeluk tubuh lemahnya dengan erat.
“hari ini aku mendapatan nilai A di mapel matematika! Apa kamu senang?” tidak ada jawaban dari nya. “Ryl, jawab aku!” paksa ku sambil melepas pelukan itu dan beralih menatap wajahnya. “Daryl?” entah sejak kapan matanya kembali tertutup. Namun kali ini sebuah senyum kecil terukir di wajahnya yang tenang. Tapi tidak dengan perasaanku. Hatiku berkata sebaliknya. Ada yang aneh. Tanganku mendekati hidungnya.
Tidak ada. Tidak ada nafas hangat yang keluar dari panca indra itu.
Dengan panik seperti keadaan sebelumnya, aku memencet tombol darurat.
Dokter segera memeriksa Daryl dan orang tua ku bersama orang tua Daryl ikut menunggu di dalam ruangan.
“Maaf, Pak, Bu. Kita sudah terlambat. Pasien sudah menyusul ajalnya.”
Tubuhku kaku. Inikah akhir pertemananku dengan sosok yang sempurna di mataku?
* * *
Sekarang aku berada di kamar Daryl. Hari ini rumah yang luas ini sudah didatangi para pelayat. Mereka sedang berada di rumah bawah, membaca yasin untuk Daryl. Aku setia duduk di kamar yang suasananya sangat menenangkan ini. Di dinding ada beberapa foto masa kecil Daryl terpajang. Air mataku tak pernah berhenti mengalir semenjak pulang dari rumah sakit. Aku beralih membuka kotak biru yang Daryl berikan atas hadiah ulang tahunku yang ke 17 tahun. Kotak itu berisi sebuah buku diary bersampul warna biru. Halaman pertama sudah ada tulisan dari Daryl. Tulisan itu diukir dengan pensil.
Untuk Alifia,
Selamat ulang tahun. Semoga kehidupanmu bahagia seperti biasanya.
Ini aku tulis saat seminggu setelah aku menyadari bahwa kamu benar-benar akan menjadi teman terbaikku. Terima kasih sudah menerima aku di kehidupan mu. Pengalaman terbaik bersama mu takkan pernah aku punahkan dari memoriku.
Perjalanan pertemanan kita masih singkat. Semoga ini akan terus bertahan lama hingga maut menjemput kita.
Oh ya sebelumnya, aku ingin memberi tahumu soal penyakit yang ku derita selama ini. Aku mengidap Toksoplasmosis, semacam infeksi pada otak. Dokter pernah bilang dengan penyakit ini hidupku tidak akan lama lagi.
Saat aku pergi kuharap kamu tidak pernah melupakanku. Dan semoga kamu bisa mendapatkan teman yang lebih baik dari aku.
Ukiran pensil ini khusus untukmu, Alifia.
Aku bukan orang yang pandai dalam ilmu sastra, apalagi dalam merangkai kata-kata. Tapi, aku berusaha untuk menjadi ahlinya demi pertemanan kita.
Terima kasih kenangannya.
Salam manis
Daryl
Anjir gue netes
BalasHapus